Ketika Ruang Tidak Lagi Sekadar Bangunan
Saya pertama kali menyadari bahwa ruang bisa “berbicara” saat berdiri sendirian di sebuah masjid tua, menjelang magrib.
Cahayanya lembut, angin masuk pelan dari sela jendela, dan entah kenapa dada terasa lapang. Tidak ada ornamen berlebihan. Tidak ada kemegahan yang memaksa kagum. Tapi ada ketenangan.
Di sanalah saya bertanya:
apa yang sebenarnya membuat sebuah ruang terasa menenangkan?
Pertanyaan itu kembali muncul ketika membaca buku Harmoni Islami dalam Desain Arsitektur: Mewujudkan Keindahan dan Kesejahteraan karya Dian Nafi dan rekan.
Arsitektur yang Tidak Berhenti pada Bentuk
Buku ini tidak dimulai dengan definisi teknis. Ia justru mengajak pembaca masuk perlahan, memahami bahwa arsitektur Islami bukan tentang kubah, lengkung, atau pola geometris semata.
Arsitektur Islami, dalam narasi buku ini, adalah cara berpikir tentang ruang.
Tentang bagaimana manusia menempatkan dirinya di antara alam dan Sang Pencipta. Tentang bagaimana bangunan tidak mendominasi, tetapi menyatu. Tentang keseimbangan—antara terang dan teduh, terbuka dan tertutup, ramai dan hening.
Saya merasa seperti diajak berjalan, bukan diajari.
Ketika Nilai Menjadi Fondasi
Dian Nafi menempatkan nilai Islam bukan sebagai tempelan simbolik, melainkan fondasi desain.
Tawhid, keseimbangan, kesederhanaan, dan kemaslahatan hadir bukan sebagai teori kaku, tetapi sebagai prinsip hidup yang diterjemahkan ke dalam ruang.
Ruang yang memungkinkan manusia bernafas.
Ruang yang mengundang interaksi tanpa kehilangan privasi.
Ruang yang memberi kesempatan untuk diam, merenung, dan kembali pada diri sendiri.
Di sini, keindahan tidak berdiri sendiri. Ia selalu berdampingan dengan kesejahteraan.
Ruang dan Kesejahteraan: Hubungan yang Sering Terlupakan
Kita sering berbicara tentang kesejahteraan dalam angka—luas bangunan, ventilasi, pencahayaan, efisiensi energi. Buku ini mengingatkan bahwa ada dimensi lain yang tak kalah penting: kesejahteraan batin.
Bagaimana sebuah rumah bisa menjadi tempat pulang, bukan sekadar tempat tinggal.
Bagaimana masjid bisa menjadi ruang komunitas, bukan hanya ruang ibadah formal.
Bagaimana ruang publik bisa memanusiakan, bukan melelahkan.
Semua itu, menurut buku ini, berakar pada niat dan nilai.
Arsitektur sebagai Ibadah yang Sunyi
Ada satu perasaan yang terus muncul saat membaca buku ini:
bahwa merancang ruang bisa menjadi bentuk ibadah yang sunyi.
Bukan ibadah yang terlihat, tapi terasa.
Bukan yang dipuji, tapi dihidupi.
Seorang arsitek, desainer, atau perencana ruang, dalam pandangan ini, bukan sekadar pembuat bentuk—melainkan penjaga harmoni.
Menutup Buku, Membuka Cara Pandang
Ketika buku ini selesai dibaca, saya kembali mengingat masjid tua itu.
Saya sadar: ketenangan yang saya rasakan bukan kebetulan. Ia adalah hasil dari ruang yang dirancang dengan kesadaran, kesederhanaan, dan nilai.
Harmoni Islami dalam Desain Arsitektur bukan buku yang memberi jawaban instan. Ia justru menanam pertanyaan yang tinggal lama:
Apakah ruang yang kita ciptakan hari ini benar-benar menyejahterakan manusia?
Dan mungkin, di situlah keindahan sejatinya bermula.
**
Judul buku: Harmoni Islami dalam Desain Arsitektur: Mewujudkan Keindahan dan Kesejahteraan
Penulis: Dian Nafi, Sahid Indraswara
ISBN 9786340461541
tersedia juga di google play book dan google book

