Maestro Legenda Puisi Pergi

Maestro Legenda Puisi Pergi


dian nafi dan sapardi djoko damono


Kadang yang bisa melipur lara hati kita justru tembang-tembang sedih dan puisi-puisi sublim.
Hidup sedemikian paradoks, sampai ku tak mengerti lagi dan kadang lelah untuk menerjemahkannya.

Hari ini ketika sang penggubah puisi sublim yang biasanya melipur laraku akhirnya pergi di saat-saat hati sedang lara-laranya, aku berharap secuil puisi lahir dari lubuk jiwaku. Tapi belum kutemukan jua.

Mungkin puisi tak bisa dipaksa, seperti kematian yang tak bisa ditunda.

Sugeng kondhur prof. Terima kasih atas puisi puisi sublim yang indah. Aku mendengarkannya kembali hari ini. Lagi dan lagi. Sambil menggumam lirih. Nggrantes. Ya Allah, atiku atiku. Ya Allah, atiku.




dian nafi, clarissa goenawan, sapardi djoko damono

**

Telah meninggal dunia dengan tenang, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di EKA Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB.

Jenazah akan disemayamkan di Kompleks Dosen UI no. 113, Jl. Ir . H. Djuanda, Ciputat, Tangsel.

Sesuai rencana keluarga, jenazah akan dimakamkan sore hari ini Bakda Ashar di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor

Dengan segala hormat pelayat tidak diperkenankan mengantar/hadir di pemakaman, sesuai protokol kesehatan dari pemerintah serta persyaratan dari pihak pemakaman.


**

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



**

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

**

Hatiku selembar daun melayang jatuh ke rumput; nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; masih ada yang ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.

**

Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
Sapardi Djoko Damono


**

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.




dian nafi dan sapardi djoko damono

**
aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti.
- Sapardi Djoko Damono


**

"Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini,
kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”
~Sapardi Djoko Darmono


**

Dukamu Abadi
Dukamu adalah dukaku
Airmatamu adalah airmataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.


**
Mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjelma aku
-SDD-


**

Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari 
– Sapardi Djoko Damono
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi 

matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan



Share:

0 Comments